“Kematian demokrasi sesaat saja”, itulah kejadian saat disahkan RUU Pilkada melalui DPRD oleh mereka yang
mengatasnamakan dirinya wakil rakyat, bahkan partai seorang presiden yang 2 x
dipilih oleh rakyatlah biang tragedi
itu. Apapun alasan disampaikan, rakyat tetap geleng-geleng kepala, “Kok cuma
seperti itu ending-nya. Sangat tidak pantas untuk ukuran partai pemimpin negara,
melakukan walk out dengan alasan tidak ada pembahasan 10 syarat
yang diajukan. Nama besar Presiden
SBY di kancah internasional
dipertaruhkan. Dunia-pun terbelalak.
Itukah nilai seorang presiden besar di penghujung purna baktinya?” Bola panas drama politik sedang melanda
Indonesia. Bara api yang ditujukan membakar kemenangan Jokowi justru berbalik menjadi matahari pemerintahan karena
dukungan people power yang semakin
hari semakin tak terbendung akibat pengesahan RUU Pilkada melalui DPRD. Indonesia bukan milik segelintir anggota DPR.
Indonesia dihuni ratusan juta orang dan jutaan kaum cerdik cendekiawan. Dapat
dipastikan uji materi menjadi pekerjaan
baru MK.
Pertanyaan
sederhana kaum awam tidak akan jauh berbeda dengan kaum intelektual yang murni memikirkan kepentingan bangsa
tanpa transaksi apapun. Pertanyaan sederhana yang didasari pada proses pilpres
dengan finish MK yang luar biasa hebat, kualitas Hakim yang
sesungguh-sungguhnya menjadi tangan Tuhan di Bumi Indonesia. Putusan Mahkamah
Konstitusi yang bisa ditebak oleh rakyat sebelum palu diketok karena
bukti-bukti hukum memang lemah. ‘Apakah bila Jokowi-JK kalah dalam pilpres 2014,
akan ada RUU Pilkada oleh DPRD?” Belum diujimaterikan
ke MK saja rakyat menjawab serentak, ”Tidak”. Juga ketika ditanyakan, ‘Apakah MK
mengabulkan gugatan Uji Materi RUU Pilkada?’ Kembali rakyat sudah punya jawaban
bahwa gugatan uji materi dikabulkan dan pilkada akan menjadi hak rakyat
sepenunya . Hal demikian tidak bisa lepas dari sejarah putusan penolakan
gugatan Prabowo-Hatta pada sidang MK. Meskipun berbagai upaya dilakukan untuk
mendukung gugatan termasuk menghadirkan artis dadakan dari papua, tetap saja MK
tidak mengabulkan gugatan, apalagi siapapun bisa menilai bahwa pembentukan RUU Pilkada melalui DPRD adalah
buntut sakit hati dan kekecewaan kalah pilpres.
Atraksi kaum sakit
hati sesi pertama sudah dilakukan. Ada
yang dengan congkaknya menyatakan bahwa disahkannya
RUU Pilkada melalui DPRD adalah kemenangan rakyat. Merasa menjadi kambing hitam
sebuah kepentingan, respon rakyat sangat cepat. Hanya dalam hitungan jam , ratusan ribu rakyat
melek teknologi berteriak, belum mereka yang gaptek (gagap teknologi)
berdiskusi model kampung. “Kok asal bunyi mengatasnamakan kemenangan rakyat? Rakyat mana yang mau hak-haknya dirampok di
negara demokrasi? “.
Sudut kebencianpun berbuah hujatan di setiap pembicaraan. Apakah semudah membalik tangan merampas hak
rakyat dalam memilih pemimpin? Seharusnya
dengan pengalaman pilpres bahwa
meskipun diusung partai besar yang bila dihitung secara matematika dimana hak memilih rakyat bisa diwakili anggota DPR, seharusnya Prabowo-Hattalah
pemenang pilpres. Kenyataannya, suara besar partai pengusung sama sekali tidak signifikan dalam perolehan suara
rakyat. Rumus apa yang digunakan bahwa 226 orang pemilih RUU Pilkada melalui
DPRD merupakan suara rakyat? Bagaimana dengan kemenangan walikota Bandung
Ridwan Kamil yang diusung oleh minoritas
partai? Sangat memprihatinkan. Senayan yang seharusnya dihuni oleh
keikhlasan pengabdian, justru diisi orang-orang yang menempatkan kepentingan
kelompok di atas kepentingan rakyat. Rakyat mana yang mau dirampas hak-haknya dalam
memilih pemimpin? Celoteh kaum sendal jepit termasuk pendukung di antara 226
orang anggota DPR, ‘RUU Pilkada melalui DPRD tak lebih hanyalah RUU sakit hati
kalah pilpres. Menyesal kenapa dulu mencoblos mereka, bermulut manis ternyata
berbisa(racun)”.
Beruntunglah Indonesia memiliki hakim-hakim Mahkamah Konstitusi (MK)
saat ini. Melihat putusan pemenang pilpres beberapa waktu lalu, rakyat tidak
perlu cemas atas putusan gugatan uji materi. Negarawan sejati tidak akan
mempertaruhkan hak rakyat hanya untuk menuruti kemauan segelintir orang. Garis
demokrasi akan menjadi dasar Mahkamah
Konstitusi memutus Gugatan Uji Materi. Demargasi Undang-Undang Dasar 1945
jelas, Indonesia sebagai Negara Demokrasi yang
berasaskan dari, oleh dan untuk rakyat tidak bisa diterjemah sebagai
anggota DPR boleh melakukan perampasan hak
rakyat dalam memilih pemimpin. Karena itu, rakyat tidak perlu mengkhawatirkan
kehilangan haknya pada segmen ini. Tidak usah negarawan sekelas Hamdan Zoelva
berikut Hakim-hakim MK yang sudah teruji dan terbukti kualitasnya, obrolan tukang sayur saja menyimpulkan bahwa besarnya
partai pengusung, bukan berarti jaminan perolehan suara rakyat.
Kalau rakyat kelas bawah saja bisa mengambil
kesimpulan seperti itu, apalagi orang-orang hebat yang kini memegang amanah
konstitusi? Maka dari itu, rakyat tidak perlu khawatir kehilangan hak pilihnya
dalam menentukan pemimpin, kita memiliki benteng kehormatan bangsa yang tiada
tara. Tidak akan pernah terjadi hakim-hakim MK menggadaikan demokrasi untuk
kepentingan politik yang tidak sehat. Tidak mungkin hakim-hakim MK
mempermalukan negara di mata dunia yang semakin hari semakin mentertawakan
Indonesia akibat keputusan 226 orang. Tidak akan pernah terjadi Hakim-hakim MK
membiarkan pengadilan rakyat menghakimi 226 orang politisi. Dan sangat
imposible Hakim-hakim MK mau
menenggelamkan diri di kancah internasional seperti Presiden SBY atas ulah
partainya. Satu hal paling berharga, adanya RUU Pilkada melalui DPRD telah membuka
mata rakyat 5 tahun ke depan. Tanpa dikomando pun, sejarah hitam terciptanya RUU Pilkada melalui DPRD , 4 partai pengusung
Jokow-JK :PDIP, Hanura, PKB dan Nasdem secara otomatis menjadi partai-partai
terhormat pilihan rakyat di tahun 2019.
Bangga memiliki
Hakim-hakim MK sebagai pemegang Amanat Konstitusi, Sikap hormat sangat besar juga
tertuju kepada barisan Abraham Samad. KPK hebat. Heroik kemarahan rakyat ketika
beberapa waktu lalu DPR pernah mengusik keberadaan KPK, mengisyaratkan ada semacam ketakutan terhadap
oknum DPR terhadap KPK. Alhasil, kecurigaan
rakyat terbukti. Banyaknya anggota DPR yang tersangkut kasus gratifikasi, korupsi
dan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) membuktikan tidak sehatnya tujuan menjadi
anggota DPR. Slogan hidup untuk rakyat hanyalah kereta kepentingan. Takut dosa
dan azab Tuhan tersingkir oleh takut tidak hidup kaya. Berbohong sudah menjadi trade
mark saat dicecar tuntutan keadilan. Rasa malu tergadaikan oleh
kepentingan pundi-pundi uang haram. Yang sangat mengerikan, bersandang ustadz justru
menjadi dalang gratifikasi kelas tinggi. Surgakah jaminan Allah atas apa yang
dilakukan di dunia? Islam dan Alqur’an menjawab, NERAKA JAHANAM.
Orientasi
kebanggaan juga tidak bisa terlepas dari kerasnya Hakim Agung Artidjo Alkostar dalam
menetapkan putusan kasasi. Harus diakui bahwa Mahkamah Agung menjadi sangat
populer setelah digawangi Hakim Agung H.M.Hatta
Ali. Garis keras KMA asal Sulsel yang satu ini menjadi momok paling menakutkan
bagi hakim manapun yang mencoba geser dari garis orbit. Kepiawian menerapkan Tri Prasetya Hakim Indonesia sangat
menentukan gemilangnya prestasi hakim dalam menjalankan fungsi sebagai pengadil
yang bernurani. Dilihat dari dahsyatnya
putusan terhadap koruptor dan dalang narkoba, menjadi ukuran tersendiri bahwa perubahan
signifikan terjadi di era 2 tahun berjalan. Tidak sekedar adil dalam membawa
roda peradilan dalam tugas sebagai pemegang palu terhadap pencari keadilan
di masyarakat, namun
juga adil secara intern kelembagaan.
Kewibawaan sebagai
lembaga tinggi hukum, menjadi prioritas pengarahan Ketua Mahkamah Agung di
setiap pembinaan dan pelatihan agar hakim berjalan sesuai dengan kode etik.
Disilahkan keluar dari lembaga peradilan bila hakim tidak mau menjalankan tugas
sesuai dengan aturan hukum pengikat. Itulah salah satu faktor terjadinya pemecatan
terhadap hakim-hakim nakal pencoreng kehormatan.
Tidak ringan Ketua Mahkamah Agung mengendalikan kualitas lembaga peradilan di
negeri ini. Tersebarnya wilayah kerja hakim di seluruh Indonesia, memerlukan
kerja ekstra keras dalam melakukan pengawasan internal. Dibutuhkan peran
masyarakat yang baik untuk ikut serta menjaga citra kehormatan lembaga
peradilan. Pengawasan masyarakat sangat
dibutuhkan dalam membantu penegak hukum berjalan lurus.
Namun demikian, bukan laporan mengada-ada kesalahan hakim
karena kecewa atas kepentingan yang terabaikan. Putusan hakim atas sengketa selalu melahirkan
sakit hati bagi yang merasa tidak diuntungkan. Sakit hati tersebut sering
berbuntut pengaduan meskipun harus diakui, putusan hakim nakal bisa juga
menjadi penyebab tragedi lembaga peradilan. Yang memprihatinkan adalah tidak
sedikit hakim-hakim baik pelaku undang-undang menjadi korban laporan oknum terutama yang
tidak puas dengan hasil putusan sidang. Ketika hakim tidak bisa dibeli,
sering terjadi usaha penjatuhan
dilakukan oleh oknum-oknum tertentu dan sebagian besar sumber utama adalah lawyer yang tidak puas dengan putusan sementara pelapor sudah menjanjikan hal-hal
berlebih kepada klien sebelum putusan.
Dampaknya, hakim harus menjalani
pemeriksaan. Pelayanan publik menjadi tidak maksimal, jadwal sidang menjadi terganggu apalagi bila
pemeriksaan hakim terlapor dilakukan di
ibu kota. Meski tersamar, bara kemarahan
hanya bisa disembunyikan manakala para hakim yang terdholimi telah bekerja semaksimal mungkin menjalankan undang-undang,
memberikan putusan seadil-adilnya berdasarkan nurani tertinggi, bukan senyum kebanggaan yang didapatkan,
tetapi menjadi terperiksa secara maraton atas rekayasa kesalahan oknum.
Terhadap para hakim yang pernah mengalami pendholiman seperti ini, tetaplah
semangat, jadilah Power in role Indonesian Justice sejati. Di akhirat segala dedikasi tercatat.
Namun demikian,
tidak berarti setiap laporan penyimpangan perilaku hakim dari masyarakat
tidak benar. Contoh ter-up to date
adalah penodaan agama yang dilakukan
KPN Bwi Kurnia Yani Darmono,SH,MH didukung Hakim Jamuji SH. Pelanggaran kode etik hakim yang dilakukan berbuntut
laporan resmi masyarakat atas pasal 156a KUHP ke Polda Jawa Timur Surabaya, sungguh ironis dengan kesungguhan Ketua
Mahkamah Agung menjaga martabat lembaga hukum tertinggi negara. Penodaan agama
yang dengan sengaja menyalahgunakan kekuasaan,
tanpa peri kemanusiaan memindahkan musholla yang dibangun atas DIPA
2010/2011, teduh , hening, luas dengan
tempat imam tertata menuju kiblat, tenang tidak terganggu aktifitas persidangan
dijadikan perpustakaan, sementara tempat ibadah umat Islam digusur ke perpustakaan berhimpitan dengan ruang sidang, gaduh dan sempit . Yang paling fatal dari pengoperan kedua tempat
tersebut adalah perpustakaan yang dijadikan musholla tepat berada dibawah WC
lantai 2. Semntara kondisi lantai WC bocor, kotoran manusia merembes ke bawah
tepat di musholla baru sehingga menjadi tempat najis.
Upaya penolakan
pemindahan tempat ibadah sudah dilakukan
karyawan PN Bwi. Hasilnya penanggung jawab DIPA mendapat hardik dan bentakan untuk diam. Juga ancaman akan menggunakan ilmu Cina –Jawa
diberikan kepada karyawan yang mencoba memberi pengertian kekeliruan langkah
yang akan dilakukan. Atribut penguasa tunggal digunakan KPN Bwi. tanpa
memperhatikan kultur masyarakat. Perusakan
dan penghilangan jejak tempat wudhlu dan penggusuran tetap dilakukan meskipun
dalam kasus serupa (penodaan agama) KPN Bwi telah pernah menjalani pemeriksaan
oleh Badan Pengawas Mahkamah Agung, tetapi lolos karena bukti yang lemah.
Terbebas dari pemeriksaan Badan Pengawas Mahkamah Agung, tidak memberikan effect jera, justru semakin
memperkuat rasa percaya diri Kurnia Yani Darmono menjajal kemampuan.
KPN Bwi
sengaja memasang bom waktu. Pernyataannya bahwa pengoperan musholla adalah aplikasi
Instruksi tanpa anggaran Mahkamah Agung tentang pengadaan ruang sidang
anak dan baru akan mengembalikan
musholla seperti semula bila ada ijin Mahkamah Agung. Sebuah pernyataan politis
yang sengaja memantik ledakan kemarahan terhadap Ketua Mahkamah Agung. Pernyataan yang
sengaja membenturkan kemarahan muslim Indonesia dengan peng-instruksi pengadaan ruang sidang anak
yang tidak lain adalah pimpinan tertinggi lembaga peradilan. Sayangnya,
Banyuwangi terlalu tangguh untuk ditaklukkan. Perbuatan melawan kode etik secara terencana, tersistem dan
terstruktur, memancing gerakan besar-besaran umat Islam guna menjatuhkan kewibawaan
Ketua Mahkamah Agung, dapat diterjemah tanpa harus membuka kamus. Mengerahkan
umat Islam se-Indonesia sangat mudah apalagi menyangkut penodaan tempat suci
dan SARA.
Akan tetapi, mengerahkan umat hanya karena ulah seorang zionis sama artinya mengikuti kemauan pendosa menghancurkan Ksatria Negara seorang H.M.Hatta Ali. Benteng kuat keikhlasan
Illahiah keluarga seorang sahabat di Belford
London in memories tidak akan pernah membiarkan noda setitik mengotori
jubah Ketua Mahkamah Agung. Tanpa ambisi kecuali keagungan sebuah loyalitas, nilai kekaguman yang tak terpadamkan jaman
membentuk satu kekuatan keyakinan membendung
gerakan masa dengan tindakan intelektual. Menyeru kepada seluruh komunitas
Islam melalui pimpinan Ponpes, Ulama, Kaum cendikiawan muslim, serta para
pembesar jajaran Mahkamah Agung bahwa
Memancing seekor ikan tanpa airnya keruh
akan lebih bermartabat daripada mengikuti
instruktur pengkhianat melempar bom ikan yang airnya akan tumpah kemana-mana.
Lebih baik segera mengadili KPN Bwi Kurnia Yani Darmono dan Hakim Jamuji setimpal
dengan perbuatannya daripada mengerahkan massa Islam mengikuti settingan tersistem. Disinilah
fungsi pengawasan masyarakat berjalan. Laporan penyimpangan perilaku hakim
disertai bukti-bukti hukum yang kuat dan saksi- saksi serta solusi pengamanan
lembaga merupakan peran serta masyarakat
dalam menjaga kewibawaan lembaga peradilan negara. Tanpa peran serta
pengawasan masyarakat, sulit bagi Ketua Mahkamah Agung mengendalikan lembaga
peradilan mengingat hakim tersebar di seluruh Indonesia sedangkan tenaga pengawasan
internal sangat terbatas.
Dominasi
agamis Taufiqurrohman berikut team
solidnya di Komisi Yudisial (KY), sangat
mewarnai kewibawaan Mahkamah Agung . Kualitas
pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik hakim telah dibuktikan dengan berulang kali terbentuk MKH terhadap hakim-hakim nakal
pelaku penyimpangan kode etik parah dan di masyarakat, pembentukan MKH
menempati empati tersendiri mengingat masyarakat haus akan tindakan keadilan
termasuk kepada hakim selaku penegak hukum. Tindakan keras Komisi Yudisial (KY)
dalam menjaga kode etik harus tetap menjadi Soko Guru mengingat di tangan hakim, nasib kaum yang
berperkara dipertaruhkan. Demikian juga sikap
ksatria Punggawa KY merehabilitasi hakim teraniaya atas laporan
tendensius, telah melahirkan pesona alamiah keberadaan KY dalam
kendali seorang Begawan Sederhana , Taufiqurrohman.
Memiliki Hamdan Zoelva dengan 8 hakim MK, memiliki Abraham Samad dengan para
penguatnya, memiliki H.M Hatta Ali dengan Artidjo Alkostar, Hamdi serta punggawa
MA yang hebat, pesona agamis dalam flexibilitas Komisi Yudisial (KY) bernahkoda Taufiqurrohman, adalah satu kesatuan the big power in Indonesian Law
yang akan menopang Presiden Jokowi-JK
mengendalikan pemerintahan. Kehebatan mental
Megawati dan Wiranto dalam menghadapi kekalahan pilpres , kemampuan PKB dalam
menentukan pilihan pemimpin masa depan, kesantunan etika Surya Paloh dalam
berpolitik, kecerdasan JK dalam pengembangan ekonomi kerakyatan, serta
kejeliaan Jokowi dalam menangkap signal kesejahteraan, bakal melahirkan Indonesia Terhormat di kancah internasional. Kewibawaan sebuah negara
atas sinergi sempurna lembaga peradilan dengan presiden didukung kesigapan
Kapolri Jendral Sutarman berduet
dengan Menhankam mengamankan negara.
Sebuah patriotisme sejati yang secara
serempak mengamini salam utama rakyat, “Hancurkan
hegemoni badut politik bertasbih uang.
Berikanlah rakyat kemenangan hakiki, Mari bersama-sama dukung sepenuhnya
perjuangan Jokowi. Baratayudha Pandawa tersia-sia, akhirnya Kurawa juga tak
berdaya. Asal menteri lurus, peradilan lurus, dukungan rakyat total, tidak ada
yang perlu dicemaskan sebab people
powerlah yang menentukan, Not Another,
and all people Indonesia always with you. We are Promise. www.jejakkasus.info
0 comments:
Post a Comment