Saturday, November 8, 2014

Sanksi Pidana bagi Pelaku Zina Perspektif Hukum Islam dan Negara



www.jejakkasus.info- Zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa adanya unsur subhat.[1] Delik perzinaan  ditegaskan dalam al-Qur’an dan sunnah. Hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah (ghairu muhsan) didasarkan pada ayat al-Qur’an, yakni didera seratus kali. Sementara bagi pezina muhsan dikenakan sanksi rajam. Rajam dari segi bahasa berarti melempari batu.[2]rajam adalah melempari pezina muhsan sampai menemui ajalnya.[3] Adapun dasar hukum dera atau cambuk seratus kali adalah firman Allah dalam surat an-Nur ayat 2: Sedangkan menurut istilah,
اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِى فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلاَ تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِيْنِ اللهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَلْيَشْــهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
Pezina perempuan dan laki-laki hendaklah dicambuk seratus kali dan janganlah merasa belas kasihan kepada keduanya sehingga mencegah kamu dalam  menjalankan hukum Allah, hal ini jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah dalam menjatuhkan sanksi (mencambuk) mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
Sedangkan dasar penetapan hukum rajam adalah  hadis Nabi:
خُذُوا عَنِّي خُذُوا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيلاً الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ[4]
Terimalah dariku! Terimalah dariku! Sungguh Allah telah memberi jalan kepada mereka. Bujangan yang berzina dengan gadis dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Dan orang yang telah kawin yang berzina didera seratus kali dan dirajam.
Zina adalah perbuatan yang sangat tercela dan pelakunya dikenakan sanksi yang amat berat, baik itu hukum dera maupun rajam, karena alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akal. Kenapa zina diancam dengan hukuman berat. Hal ini disebabkan karena perbuatan zina sangat dicela oleh Islam dan pelakunya dihukum dengan hukuman rajam (dilempari batu sampai meninggal dengan disaksikan orang banyak), jika ia muhsan. Jika ia ghairu muhsan, maka  dihukum cambuk 100 kali. Adanya perbedaan hukuman tersebut karena muhsan seharusnya bisa lebih menjaga diri untuk melakukan perbuatan tercela itu, apalagi kalau masih dalam ikatan perkawinan yang berarti menyakiti dan mencemarkan nama baik keluarganya, sementara ghairu muhsan belum pernah menikah sehingga nafsu syahwatnya lebih besar karena didorong rasa keingintahuannya. Namun keduanya tetap sangat dicela oleh Islam dan tidak boleh diberi belas kasihan, sebagaimana firman Allah:
وَلاَ تَأْخُذْ كُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِى دِيْنِ اللهِ
Ancaman keras bagi pelaku zina tersebut karena dalam pandangan Islam zina, merupakan perbuatan tercela yang menurunkan derajat dan harkat kemanusiaan secara umum. Apabila zina tidak diharamkan niscaya martabat manusia akan hilang karena tata aturan perkawinan dalam masyarakat akan rusak. Di samping itu pelaku zina berarti mengingkari nikmat Allah tentang kebolehan dan anjuran Allah untuk menikah.[5]
Hukuman delik perzinaan yang menjadi perdebatan di kalangan umat Islam adalah hukum rajam. Jumhur ulama menganggap tetap eksisnya hukum rajam, sekalipun bersumber pada khabar ahad. Sementara golongan Khawarij, Mu’tazilah  dan sebagian fuqaha Syiah menyatakan, sanksi bagi pezina adalah hukum dera (cambuk).[6] Adapun alasan mereka yang menolak hukum rajam adalah:
1.  Hukum rajam dianggap paling berat di antara hukum yang ada dalam Islam namun tidak ditetapkan dalam al-Qur`an. Seandainya Allah melegalkan hukum rajam mestinya ditetapkan secara definitif dalam nas.
2.  Hukuman bagi hamba sahaya separoh dari orang merdeka, kalau         hukum rajam dianggap sebagai hukuman mati, apa ada hukuman     separoh mati. Demikian juga ketentuan hukuman bagi keluarga    Nabi dengan sanksi dua kali lipat Apakah ada dua kali hukuman            mati. Secara jelas ayat yang menolak adalah surat an-Nisa ayat 25:
…فَإِذَا اُحْـصِنَّ فَإِنْ أَتَــيْنَا بِــفَاحِـشَةٍ فَـعَلَيْـهِنَّ نِـصْفُ مَــا عَلَى الْمُحْصَـنَـاتِ مِنَ الْعَــذَابِ…
… jika para budak yang telah terpelihara melakukan perbuatan keji (zina), maka hukumannya adalah separoh dari wanita merdeka …
Ayat di atas menunjukan bahwa hukum rajam tidak dapat dibagi dua, maka hukum yang logis diterapkan adalah hukum dera 100 kali. Jika pelakunya budak, maka berdasarkan ketentuan surat an-Nisa ayat 25 adalah separoh, yakni lima puluh kali. Demikian halnya dengan ketentuan surat al-Ahzab ayat 30.
يَانِسَاءَ النَّبِيِّ مَنْ يَأْتِ مِنْكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَاالْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ…
Hai istri-istri Nabi jika di antara kalian terbukti melakukan perbuatan keji (zina), maka dilipatgandakan sanksinya yaitu dua kali lipat…
Ayat di atas menggambarkan bahwa  hukum rajam tidak dapat dilipatgandakan, yakni dua kali lipat. Jika diberlakukan hukum dera 100 kali maka dua kali lipatnya adalah 200 kali.
3.  Hukum dera yang tertera dalam surat an-Nur ayat 2 berlaku     umum, yakni pezina muhsan dan ghairu muhsan. Sementara hadis Nabi yang menyatakan berlakunya hukum rajam adalah lemah.[7]
Masih dalam aliran ini, Izzudin bin Abd as-Salam sebagaimana dikutip oleh Fazlur Rahman, menyatakan bahwa hukum rajam dengan argumnetasi seluruh materi yang bersifat tradisional bersifat non reiable, di samping tidak ditegaskan dalam al-Qur`an juga warisan sejarah orang-orang Yahudi.[8]
Sementara Anwar Haryono menyatakan, bahwa hukum rajam pertama kali diterapkan dalam sejarah Islam terhadap orang Yahudi dengan mendasarkan kitab mereka, yakni Taurat. Kejadian itu kemudian menjadi rujukan hukum, artinya siapa saja yang berzina dirajam.[9] Demikian halnya dengan pendapat Hasbi ash-Shiddieqy, hukum rajam ada dan dipraktekan dalam Islam, akan tetapi terjadi sebelum diturunkannya surat an-Nur ayat (2). Maka hukum yang muhkam[10] Alangkah bijaksananya kalau kita mengatakan hukum had itu tidak boleh dilaksanakan, kecuali telah sempurna perbuatan dosa seseorang, yakni terpenuhinya syarat, rukun dan tanpa adanya unsur subhat. sampai sekarang adalah hukum dera bagi pezina.
Tidak ada maksud mengklaim kebenaran pada salah satu pihak yang pro dan kontra tentang sanksi bagi pezina (dera atau rajam). Ada baiknya merujuk pada teks dengan mempertimbangkan realitas masyarakat kontemporer, seperti Indonesia yang plural. Artinya harus bertolak  dari kenyataan bahwa hukum rajam bukan hukum yang hidup dalam sistem negara Islam manapun, kecuali Saudi Arabia. Realitas ini tentunya tidak lepas dari adanya perubahan konstruksi masyarakat sekarang, dengan konstruksi masyarakat muslim pada saat hukum rajam diterapkan. Perubahan masyarakat pada gilirannya merubah rasa hukum masyarakat, sehingga masyarakat enggan melaksanakan hukum rajam, di sisi lain pezina harus dihukum berdasarkan ketentuan al-Qur`an.
Di sini perlu dipahami, bahwa perintah Rasul untuk menghukum rajam bagi pezina harus diperhitungkan latar belakang historisnya:
1.  Hukum rajam pertama kali diterapkan kepada orang Yahudi, dasar hukumnya adalah kitab mereka yakni Taurat.
2.  Diterapkannya hukum rajam pada masa Nabi adalah ketika surat an-Nur ayat (2) belum diturunkan. Sedang hukum yang berlaku setelah diturunkannya surat an-Nur ayat (2) adalah hukum cambuk (dera) 100 kali.
3.  Rasululah menghukum rajam di kala itu bukan sebagai hukuman had, melainkan hukuman ta’zir.[11]
Dari berbagai bentuk sanksi delik perzinaan dapat ditarik benang merah sebagaimana yang diungkapkan oleh Jalaludin Rahmat, hukum rajam mempunyai fungsi sebagai penjera yang dalam konteks masyarakat modern dapat diganti dengan hukuman lain.[12] Di sisi lain hukum Islam harus diberlakukan secara substansial dengan tidak meninggalkan ruh syari’ah. Senada dengan pernyataan di atas, menurutnya, ketika memahami hukum Islam, teori gradasi layak dipertimbangkan, demikian halnya dengan prinsip nasikh wa mansukh, serta kondisi masyarakat sebagai syarat mutlak dalam pemberlakuan sistem hukum. Yusuf al-Qaradawi berkomentar, sanksi perzinaan akan efektif diberlakukan sebagaimana yang diinginkan oleh nas jika masyarakat sempurna memahami agamanya. Sebaliknya, jika masayarakat lemah imannya, lingkungan tidak mendukung, seperti wanita banyak mempertontonkan kecantikannya, beredarnya film-film porno, adegan perzinaan terbuka lebar di mana-mana, kondisi seperti ini tidak efektif untuk memberlakukan hukum secara definitif.[13]
Hukum rajam atau dera seratus kali bagi pezina bukanlah suatu kemutlakan. Sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Syahrur dengan teorinya halah al-had al-a’la, (batas maksimal ketentuan hukum Allah), bahwa hukum rajam (dera) bisa dipahami sebagai hukum tertinggi dan adanya upaya untuk berijtihad dalam kasus tersebut dapat dibenarkan.[14] Demikian halnya pelaku yang tidak diketahui oleh orang lain, Islam memberikan peluang terhadapnya untuk bertobat.[15] Sebagaimana Nabi menjadikan sarana dialog dalam kasus Ma’iz bin Malik, yang mengaku berzina dan minta disucikan kepada Nabi. Nabi berpaling dan bertanya berulang-ulang agar pengakuan dicabut dan segera bertaubat.
Dari berbagai pendapat tentang eksistensi hukum rajam, dapat disimpulkan bahwa hukum rajam adalah alternatif hukuman yang terberat dalam Islam dan bersifat insidentil. Artinya penerapannya lebih bersifat kasuistik. Karena hukuman mati dalam Islam harus melalui pertimbangan matang kemaslahatan individu maupun masyarakat.
Adapun tindak pidana yang terkait dengan tindakan asusila, seperti  pelaku lesbian dan homoseks, kebanyakan ahli hukum menyatakan bahwa si pelaku tidak dihukum hadd melainkan dengan ta’zir.[16] Dalam hal kejahatan perkosaan, hanya orang yang melakukan pemaksaan saja (si pemerkosa) yang dijatuhi hukuman hadd. Namun ada sebagian pendapat yang menyatakan, bahwa hukuman si pemaksa dikategorikan sebagai tindakan yang sadis dan masuk dalam delik hirabah. Hal ini didasarkan pada lafadz wayas `auna fi al-ard fasadan (orang yang membuat kerusakan di muka bumi). Kejahatan pemerkosaan, sabotase, bahkan teroriseme termasuk dalam kategori jarimah perampokan (perampasan) yang pelakunya harus dikenakan hukuman berat.
Tindak Kejahatan Perjinaan Menurut Hukum Negara Di Anggap Melawan Hukum UU Pasal 284 KUHP
Hukum Pidana Materil kita yang telah terkodifikasi (KUHP-Kitab Undang Undang Hukum Pidana), menempatkan Tindak Pidana Perzinahan sebagai sebuah Kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP. Pasal 284 KUHP yang mengatur tentang Perzinahan terdiri dari lima (5) ayat, namun pada kesempatan ini, saya ingin mengajak kita semua untuk mencoba mencermati dan menganalisa Pasal 284 ayat 1 ke 1e KUHP, karena memang pasal ini yang kerap dilanggar (lazim terjadi) dan diterapkan kepada pelaku-pelaku dalam tindak pidana perzinahan, yang berbunyi ; Dihukum Penjara selama-lamanya sembilan bulan, (a). Laki-laki yang beristri berbuat zinah, sedang diketahui bahwa Pasal 27 KUH Perdata berlaku padanya, (b). Perempuan yang bersuami, berbuat zinah.
Demikian semoga bermanfaat.

0 comments: