Mojokerto, .jejakkasus.com-
Proyek pelebaran jalan desa Urung-Urung 1kmjurusan arah ke kecamatan Trawas kabupaten Mojokerto
di nilai Jejak Kasus terkesan asal-asalan, pasalnya baru saja berjalan
pengadaan proyek pelebaran jalan, sudah terlihat rusak, Jelas Pria Sakti
Direktur Eksekutif NGO HDIS.
Nampak jelas, kondisi banyak yang rusak jalan seperti gambar gallery foto yang di kantongi oleh tim Jejak Kasus, patut di duga ada unsyur manipulasi data bahan bahan untuk pengerjaan Proyek pelebaran jalan raya Trawas, dan itu sebenarnya tanggung jawab pimpinan daerah yakni bupati Mojokerto.
Nampak jelas, kondisi banyak yang rusak jalan seperti gambar gallery foto yang di kantongi oleh tim Jejak Kasus, patut di duga ada unsyur manipulasi data bahan bahan untuk pengerjaan Proyek pelebaran jalan raya Trawas, dan itu sebenarnya tanggung jawab pimpinan daerah yakni bupati Mojokerto.
Lanjut Jejak Kasus memonitoring dugaan dugaan kasus proyek
pelebaran jalan khususnya di kabupaten Mojokerto, Lihat jalan tersebut Nampak
berlobang, baik kedalaman galian dan pengecoran terlihat dipilah pilah/alias
tidak rata, sepanjang jalan menuju Trawas. Kwalitas aspalpun juga kurang dan
pengerjaannya kasar, ketebalannya tidak sesuai dengan rencana
anggaran biaya RAB, juga Volumenya.
Sejauh ini bupati Mojokerto harusnya turun lapangan untuk
melihat kebenarannya, karena para pekerja pelaksanaan proyek jalan sukar di
temui, berita di turunkan. Bersambung 2.
PT
Mustika Zidane Karya yang bertanggung jawab pelaksanaan proyek pembangunan
jalan dan jembatan nama proyek peningkatan jalan Lebaksono Slepi THP II dengan
Volume 7X 7.107 M dengan biaya sebesar Rp. 15.356909.000,00 waktu pengerjaan
proyek 180 hari kalender di mulai 07 April 2014 sampai 03 Oktober 2014 Ada
dugaan tindakan melanggar hukum UU Kontruksi! Di karenakan terkesan asal
asalan, dan jalan banyak yang rusak.
Pria
Sakti Direktur Eksekutif NGO HDIS PUSAT, menerangkan: Pengerjaan Proyek
pelebaran jalan Trawas tersebut harusnya di Audit, mewakili masyarakat’ kita
harus memastikan bahwa uang APBD dan APBN untuk proyek jalan oleh pemborong
atau jasa jasa kontruksi supaya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Bagaimana
jika kemudian dalam suatu pekerjaan konstruksi ditemukan sesuatu penyimpangan?
Tentu saja pihak-pihak yang terlibat di dalamnya harus mempertanggung jawabkan
segala bentuk penyimpangan itu. Namun yang disesalkan, seringkali hal ini
digunakan oleh aparat penegak hukum untuk mempersangkakan para pihak tersebut
dengan hukum pidana tindak pidana korupsi (tipikor). Sebenarnya tidak semua
penyelesaian harus disolusikan dengan hukum pidana tipikor. Pasal 2 ayat 1 UU
Tindak Pidana Korupsi sendiri berbunyi demikian
Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Dalam
pekerjaan jasa konstruksi pemerintah, dalam kontrak biasanya ada dua pihak
utama, yaitu pemerintah itu sendiri dan penyedia jasa (kontraktor). Pemerintah
adalah pengendali kegiatan, sedangkan kontraktor adalah pelaksana kegiatan.
Ketika pekerjaan konstruksi selesai dilaksanakan dan diserahterimakan, akan ada
audit yang dilakukan oleh pemeriksa baik internal maupun eksternal. Ketika
dalam audit itu terdapat temuan atau penyimpangan, hal pertama yang dilakukan
adalah melaporkannya kepada pihak-pihak yang ada dalam kontrak tadi serta
bagaimana penyelesainnya. Penyelesaian yang paling umum dilakukan adalah
penggantian kerugian negara secara materiil. Permasalahan ini seharusnya
selesai sampai di sini, karena (potensi) kerugian negara telah diganti dan telah
diselesaikan.
Kenyataannya
dalam prakteknya kemudian, aparat penegak hukum masuk menelusuri kasus ini
dengan kacamata pidana tipikor. Sah-sah saja sebenarnya apa yang dilakukan oleh
penegak hukum tersebut, tapi seyogyanya tim penyelidik atau penyidik sudah
menemukan adanya dugaan yang kuat adanya perbuatan melawan hukum ini. Kalau
memang ternyata kerugian negara itu ialah dikarenakan karena kelalaian dan
ketidaksengajaan karena faktor-faktor kompleksnya pekerjaan konstruksi yang
dilakukan, sebaiknya cukup diselesaikan secara perdata.
Dalil
"secara melawan hukum" ini harus sangat diperhatikan oleh penegak
hukum. Tidak semua kerugian negara dikarenakan perbuatan melawan hukum. Jasa
konstruksi mengenal UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. UU ini
seharusnya juga sama dihormatinya dengan UU Tipikor. Pada pasal 43 ayat 1, 2 ,
dan 3 dapat ditemukan sanksi pidana ada di dalam UU Jasa Konstuksi.
(1)
Barang siapa yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang tidak
memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi
atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau
dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.
(2)
Barang siapa yang melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang bertentangan
atau tidak sesuai dengan ketentuan keteknikan yang telah ditetapkan dan
mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan
pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5%
(lima per seratus) dari nilai kontrak..
(3)
Barang siapa yang melakukan pengawasan Pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan
sengaja memberi kesempatan kepada orang lain yang melaksanakan pekerjaan
konstruksi melakukan penyimpangan terhadap ketentuan keteknikan dan menyebabkan
timbulnya kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana
paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10%
(sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.
Merupakan
hal yang berbeda jika ternyata di kemudian hari ada kegagalan bangunan. Dalam
Pasal 11 poin 6 UU Jasa Konstruksi dijelaskan mengenai kegagalan bangunan.
Kegagalan
bangunan adalah keadaan bangunan, yang setelah diserahterimakan oleh penyedia
jasa kepada pengguna jasa, menjadi tidak berfungsi baik sebagian atau secara
keseluruhan dar,/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam
kontrak kerja konstruksi atau pemanfaotannya yang menyimpang sebagai akibat
kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna jasa;
Jadi
dalam kegagalan bangunan harus ada unsur-unsur sebagai berikut,
1.
Tidak berfungsi baik sebagian atau keseluruhan, atau
2. Tidak sesuai ketentuan yang tercantum di dalam kontrak, atau
3. Pemanfaatannya menyimpang
2. Tidak sesuai ketentuan yang tercantum di dalam kontrak, atau
3. Pemanfaatannya menyimpang
dan
semua itu haruslah akibat adanya "kesalahan". Misalnya dalam kasus
jembatan ambruk. Pun harus ada unsur "kesengajaan" yang bisa
dibuktikan dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat. Kasus tipikor merupakan
sesuatu yang serius dan semua pihak harus sangat berhati-hati dalam menerapkan
pasal tipikor, terutama dalam pekerjaan konstruksi. Pekerjaan konstruksi
melibatkan begitu banyak pihak. Pada tahap pekerjaan begitu banyak pekerja yang
ada, baik yang terampil maupun tidak terampil. Tidak semuanya memahami
pekerjaan konstruksi yang sesuai dengan ketentuan yang ada. Kesalahan atau
kelalaian yang dilakukan seharusnya dipahami betul sebagai ketidaksengajaan ada
dalam kemungkinan pertama. Menjadi hal yang berbeda bila kemudian ditemukan
kegagalan bangunan yang menyebabkan bangunan tersebut menjadi tidak berfungsi.
Dalam hal ini pun ada pasal dalam UU Jasa Konstruksi dan tidak serta merta
langsung mengaitkan dengan pasal UU Tipikor.
Penyelesaian
jika ada temuan atau penyimpangan dalam pekerjaan konstruksi sebaiknya
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Hasil audit pemeriksa yang sah, baik internal maupun eksternal, jika ada temuan
harus langsung diberitahukan kepada pihak-pihak dalam kontrak yang langsung
menyelesaikannya baik dengan mengganti kerugian materiil ataupun potensi
kerugiannya kepada negara, selama tidak terjadi kegagalan bangunan.
2.
Aparat penegak hukum baru terlibat jika terjadi kegagalan bangunan (sesuai UU
Jasa Konstruksi), dengan memastikan apakah kegagalan bangunan tersebut apakah
merupakan kesalahan yang disengaja atau tidak. Jika tidak ditemukan bukti bahwa
kegagalan itu disengaja, maka penyelesaiannya seyogyanya dalam domain hukum
perdata.
3.
Bila ditemukan unsur "melawan hukum" dalam proses terjadinya
penyimpangan pekerjaan konstruksi, barulah aparat penegak hukum menggunakan pasal
pidana yang ada di dalam UU Jasa Konstruksi.
4.
UU Tipikor barulah dikenakan jika ternyata ada dugaan kuat bahwa pihak-pihak
dari lingkungan pemerintah terlibat dengan sengaja melakukan hal-hal melawan
hukum yang bisa memperkaya diri sendiri atau orang lain.
Gambaran
berikut ini bisa memberikan sedikit pencerahan dalam penerapan jenis hukum yang
bisa dikenakan pada pihak-pihak dalam jasa konstruksi.
1.
Sebuah pekerjaan pembangunan jembatan baru, ternyata setelah dilakukan audit
oleh BPK ditemukan kekurangan volume pekerjaan. Jembatan itu sendiri masih bisa
berfungsi dan setelah diuji, dinyatakan aman dan tidak membahayakan.
Penyelesaiannya cukup dengan mengembalikan kerugian negara yang ada.
2.
Ternyata setelah 2 tahun, salah satu bagian dari jembatan itu mengalami
penurunan akibat kesalahan pada proses pekerjaan. Setelah diselidiki, kesalahan
ini bukan merupakan kesengajaan dan karena kelalaian akibat keliru dalam
menghitung kekuatan beton. Penyelesainnya seyogyanya lewat jalur perdata.
3.
Penyelidikan yang dilakukan pada bagian yang rusak, ternyata ada dugaan kuat
bahwa pihak kontraktor sengaja mengurangi kualitas beton dan besi atau baja
demi keuntungan sendiri. Maka aparat dapat menggunakan UU Jasa Konstruksi Pasal
43 ayat (1) dan (2), serta ayat (3).
4.
Bila ternyata ditemukan dugaan kuat bahwa ada unsur pemerintah yang terlibat
suap dalam proses pekerjaan baik selama pekerjaan maupun setelah pekerjaan, dan
bahwa perbuatan itu dilakukannya dengan maksud memperkaya diri sendiri (maupun
si kontraktor), barulah dapat disangkakan UU Tipikor.
Dengan
demikian ada beberapa hal yang harus ada dalam penyimpangan pekerjaan
konstruksi untuk sampai pada UU Tipikor:
1.
Ada unsur kerugian negara
2.
Ada kegagalan bangunan
3.
Ada dugaan kuat kesengajaan dari penyedia jasa
4.
Ada dugaan kuat perbuatan melawan hukum dari unsur pemerintah (misalnya suap,
penyalahgunaan wewenang, pemerasan, dsb)
Dengan
mengetahui bahwa tidak semua kesalahan dalam pekerjaan konstruksi akan dibawa
ke ranah pidana, selama hal tersebut bukan merupakan kesengajaan atau perbuatan
melawan hukum, maka para pelaku konstruksi bisa lebih tenang dalam bekerja demi
pembangunan negeri ini. (ida sakti)
0 comments:
Post a Comment