Redaksi Harian Jejak Kasus, www.jejakkasus.com - Dalam upaya penyikapan hukum pidana
Zina yang di
larangan atau perintah dan ada sanksi atas
pelanggaran norma-norma itu berupa ancaman pidana.
Kejahatan perlu mendapat kajian serius mengingat
kerugian yang ditimbulkannya. Kerugian tersebut dapat terjadi pada negara,
masyarakat maupun individu sehingga perlu diatasi. Oleh sebab itu, negara
memberikan reaksi berupa larangan terhadap perbuatan itu serta sanksi bagi
orang yang melanggarnya.
Di samping itu dalam kenyataan sosial, reaksi
sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan tidak hanya diberikan oleh negara,
masyarakat dan individu yang merasa dirugikan rasa keadilannya akan memberikan
reaksi pula. Aturan pidana yang kurang layak sering menjadi objek ketidakpuasan
masyarakat yang akhirnya menumbuhkan reaksi sosial. Hal ini semakin jelas
apabila diperhatikan hasil penelitian yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional mengenai “Pengaruh Agama Terhadap Hukum Pidana”, baik masyarakat
Bali, Aceh ataupun Menado memandang bahwa KUHP sekarang belum memberikan rasa
keadilan kepada masyarakat. Kondisi di atas sangat dimungkinkan terjadi karena
pengertian kejahatan menurut hukum pidana berbeda dengan pengertian kejahatan
menurut masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut terjadi
ketidakpuasan dari sebagian masyarakat mengenai perilaku-perilaku penyimpangan
terutama dalam lingkup kesusilaan. Hal ini disebabkan karena perilaku-perilaku
yang menyimpang dari norma-norma masyarakat belum mendapat tempat semestinya
dalam hukum pidana. Misalnya perbuatan zina yang menurut pengertian masyarakat
berbeda dengan pengertian dalam Hukum Pidana Indonesia (KUHP). Masyarakat
menganggap bahwa zina adalah perbuatan yang patut mendapatkan sanksi pidana,
adat dan sosial serta siapa saja boleh melaporkan adanya kejahatan zina
tersebut, sementara KUHP sekarang cenderung sanksi yang diberikan masih ringan
dan yang melapor terbatas hanya suami/istri pelaku zina.
Menurut Sudarto yang memberikan pijakan awal bahwa apabila hukum pidana itu
digunakan untuk mengatasi permasalahan sosial tersebut, maka harus
dipertimbangkan secara matang karena hukum pidana mempunyai fungsi subsidier.
Artinya baru dipergunakan apabila upaya-upaya lain diperkirakan kurang
memberikan hasil yang memuaskan. Jika hukum pidana tetap dilibatkan untuk
mengatasi permasalahan sosial tersebut, maka hendaknya dilihat dalam
keseluruhan politik kriminal.
Para penegak hukum maupun para ahli hukum banyak
yang menyetujui delik perzinaan tetap diatur sebagai salah satu delik baik
dalam hukum pidana sekarang maupun untuk hukum pidana masa yang akan datang,
walaupun pengertian perzinaan menurut aturan hukum pidana sekarang tidak seluas
perzinaan menurut pandangan masyarakat, dengan mendasarkan pada beberapa
peraturan perundang-undangan yang mengakui keberadaan hukum tidak tertulis
serta pernyataan hasil seminar atau simposium berikut ini :
a.
Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang
Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan
dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, yang berbunyi sebagai berikut :
Perbuatan yang melanggar hukum yang hidup harus dianggap sebagai perbuatan pidana, akan tetapi tiada
bandingannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap
diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda
lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang
dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum… Bahwa bilamana hukuman adat
yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim itu melampaui hukuman kurungan atau
denda yang dimaksud di atas, maka…terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti
setinggi sepuluh tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang tidak
selaras lagi dengan zaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas.”
b.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 5 ayat (2), berbunyi :
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak/kurang jelas melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.”
Pasal 23 ayat (1), berbunyi :
“Segala putusan pengadilan selain harus memuat alas an-alasan dan
dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari
aturan yang bersangkutan atau bersumber dari hukum yang tidak tertulis.”
Pasal 28 ayat (1) berbunyi :
“Hakim wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.”
c.
Resolusi Bidang Hukum Pidana Seminar Hukum Nasional ke-1 Tahun 1963.
Resolusi Butir IV :
“Yang dipandang sebagai perbuatan-perbuatan jahat tadi adalah perbuatan-perbuatan
yang dirumuskan unsure-unsurnya dalam KUHP ini maupun dalam perundang-undangan
lain. Hal ini tidak menutup pintu bagi larangan perbuatan-perbuatan menurut
hukum adat yang hidup dan tidak menghambat pembentukan masyarakat yang dicita-citakan
tadi, dengan sanksi adat yang masih sesuai dengan martabat bangsa.”
Resolusi Butir VIII:
“Unsur-unsur Hukum Agama dan Hukum Adat
dijalinkan dalam KUHP.”
d.
Kesimpulan Komisi II Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana
Tahun 1975.
“Tentang tanggapan terhadap perbuatan pidana
dalam KUHP dan perbuatan tercela lainnya yang mempunyai norma yang saling
menunjang antara norma hukum dan norma agama/adat, antara lain :
1)
Perzinaan;
2)
Pelacuran; dan lain-lain.
Sidang mendapatkan
pandangan-pandangan/pendapat-pendapat yang titik beratnya ditujukan kepada :
1)
Perzinaan dalam KUHP diberikan dalam arti yang luas, karena pada waktu sekarang
dipandang tidak cocok lagi.
2)
Mengenai perzinaan dengan pemberian sanksi harus mengawini, timbul persoalan
apabila salah satu pihak telah dalam ikatan perkawinan dimana perkawinan baru
dihalangi oleh perkawinan lama. Demikian juga timbul persoalan anak yang
dilahirkan akibat perzinaan memungkinkan anak yang dilahirkan tetap menjadi
anak zina sekalipun oleh kedua orangtuannya tetap diikuti dengan perkawinan.
e. Seminar
Hukum Nasional IV Tahun 1979.
Dalam laporan Sub B II mengenai “Sistem Hukum
Nasional” dinyatakan antara lain :
1)
Sistem Hukum Nasional harus sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum
masyarakat Indonesia.
2) Hukum
Nasional sejauh mungkin diusahakan dalam bentuk tertulis. Di samping itu hukum
yang tidak tertulis tetap merupakan bagian dari hukum nasional”.
Adapun keputusan-keputusan pengadilan yang
mengakui perzinaan sebagai salah satu delik dengan mendasarkan pada hukum yang
hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana
karena perzinaan, adalah sebagai berikut :
a. Putusan
Mahkamah Agung tanggal 19 November 1977 No. 545 K/Kr/1976.
b. Putusan
Mahkamah Agung No. 666 K/Pid/1984.
c. Putusan
Pengadilan Tinggi Denpasar No. 22/Pid/S/1988/PT Denpasar yang menguatkan
putusan Pengadilan Negeri Klungkung 27 Januari No. 1/Pid./S/1988/PN Klk.
Menyangkut delik adat lokika sanggraha.
Unsur-unsur yang menonjol adalah persetubuhan yang dilakukan oleh dua orang
yang berada di luar perkawinan dengan janji akan dinikahi, atas dasar suka sama
suka, namun ternyata pihak pria mengingkarinya. Dasar pemidanaannya adalah
Pasal ayat 3 sub b Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 jo Pasal 359 Kitab
Adigama.
Perzinaan menurut KUHP
Hukum Pidana di Indonesia pada masa-masa
kerajaan Islam diambil dari hukum Islam, seperti halnya bidang-bidang lainnya
yang berlaku waktu itu. Akan tetapi, setelah Belanda menjajah Indonesia, maka
mulailah secara berangsur-angsur hukum pidana Barat (Belanda) diterapkan di
Indonesia. Mula-mula hukum pidana itu dikodifikasi, yaitu kodifikasi yang sama
seperti yang telah berlaku di negeri Belanda dan hanya berlaku bagi golongan
Eropa saja (KB 10 Pebruari 1866). Kemudian dikodifikasi pula hukum pidana yang
khusus untuk golongan inlanders (bumiputra) dan yang dipersamakan (Ordonantie
6 Mei 1872 No. 85). Jadi, ada dua kodifikasi hukum pidana, satu untuk golongan
Eropa dan satu lagi untuk golongan inlanders dan yang dipersamakan
dengannya.
KUHP sebagai kitab induk hukum pidana di
Indonesia, dalam pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana zina sebagai
bagian dari kejahatan terhadap kesusilaan, semuanya masuk pada jenis kejahatan.
Kejahatan yang dimaksudkan ini dimuat dalam lima pasal, yakni: pasal 284
(perzinaan), pasal 285 (perkosaan bersetubuh), pasal 286 (bersetubuh dengan perempuan
bukan istrinya yang dalam keadaan pingsan). 287 (bersetubuh dengan perempuan
yang belum berumur lima belas tahun yang bukan istrinya), dan Pasal. 288
(bersetubuh dalam perkawinan dengan perempuan yang belum waktunya dikawin dan
menimbulkan luka atau kematian. Kejahatan terhadap kesusilaan di bidang
persetubuhan ini, selain perzinaan (284) hanya dapat dilakukan oleh si pembuai
(laki-laki). Dibentuknya kejahatan di bidang ini, ditujukan untuk melindungi
kepentingan hukum kaum perempuan di bidang kesusilaan dalam hal persetubuhan.
Perbuatan yang mempunyai makna
sama dengan perzinaan, KUHP digolongkan kejahatan terhadap kesusilaan diatur
dalam Pasal 284-303 KUHP. Salah satu kejahatan kesusilaan tersebut dikenal
dengan perzinaan/mukah (overspel). Yang diatur dalam Pasal 284 KUHP,
dapat dirumuskan sebagai berikut :
(1) Diancam dengan
pidana penjara paling lama Sembilan bulan :
1.
a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak
(overspel), padahal
diketahui bahwa Pasal 27 KUH Perdata[1]
(asas monogami) berlaku baginya;
b. seorang wanita yang telah kawin
yang melakukan gendak, padahal diketahui
bahwa Pasal 27 KUH Perdata (asas monogami) berlaku baginya.
2.
a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahuinya
bahwa yang turut bersalah telah kawin;
b. seorang wanita yang
telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu,
padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27
KUH Perdata (asas monogami) berlaku baginya.
(2) Tidak
dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan
bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 KUHPerdata, dalam tenggang waktu 3 bulan
diikuti dengan permintaan bercerai, atau pisah meja dan ranjang karena alasan
itu juga.
(3) Terhadap
pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72, 73 dan 75 KUHP.[2]
(4) Pengaduan
dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
(5) Jika bagi
suami/istri berlaku Pasal 27 KUH Perdata, pengaduan tidak diindahkan selama
perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan
pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Mengenai kejahatan zina yang dirumuskan pada
ayat (1), terdiri dari empat macam larangan, yakni:
- seorang laki-laki yang telah kawin melakukan
zina, padahal Pasal 27 BW (asas monogami) berlaku baginya;
- seorang perempuan yang telah kawin melakukan
zina, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW (asas monogami) berlaku baginya;
- seorang laki-laki turut berzina dengan seorang
perempuan yang diketahuinya telah kawin;
- seorang perempuan yang turut berzina dengan
seorang laki-laki yang diketahuinya bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya.
Jadi seorang laki-laki atau perempuan dikatakan melakukan kejahatan zina,
apabila memenuhi tiga syarat esensial, yaitu:
- melakukan persetubuhan dengan perempuan atau
laki-laki bukan suami atau bukan istrinya;
- bagi dirinya berlaku Pasal 27 BW;
- dirinya sedang berada dalam perkawinan.
Apabila
laki-laki atau perempuan yang melakukan zina itu tidak berlaku Pasal 27 BW
sedangkan perempuan atau laki-laki yang menjadi kawannya melakukan zina itu
tunduk pada Pasal 27 BW dan diketahuinya bahwa laki-laki atau perempuan yang
berzina itu tunduk pada BW, kualitasnya bukanlah melakukan kejahatan zina, akan
tetapi telah turut serta melakukan zina yang dibebani tanggung jawab yang sama
dengan si pembuat zina itu sendiri. Turut serta melakukan zina ini, dilihat
dari Pasal 55 ayat (1) KUHP adalah sebagai pembuat peserta (mede pleger).
Jadi untuk
berkualitas turut serta dalam berzina, diperlukan empat syarat, yaitu:
- melakukan persetubuhan dengan
perempuan atau laki-laki bukan suaminya atau bukan istrinya.
Orang ini tidak harus telah menikah;
- dirinya tidak tunduk pada Pasal
27 BW;
- temannya yang melakukan
persetubuhan itu tunduk pada Pasal 27 BW 4. diketahuinya (unsur kesalahan:
kesengajaan) bahwa:
a. temannya melakukan persetubuhan
itu telah bersuami atau beristri,
b. yang Pasal 27 BW
berlaku bagi temannya bersetubuh itu.
Sementara itu, apabila baik laki-lakinya maupun
perempuannya tidak tunduk pada Pasal 27 BW kedua-duanya, baik laki-lakinya
maupun perempuannya tidaklah melakukan kejahatan zina, dengan demikian juga
tidak ada yang berkualitas sebagai pembuat pesertanya. Begitu juga apabila baik
laki-lakinya maupun perempuannya tidak sedang terikat perkawinan, artinya tidak
sedang beristri atau tidak sedang bersuami walaupun dirinya tunduk pada Pasal
27 BW maka kedua-duanya laki-laki atau perempuannya yang bersetubuh itu tidak
melakukan zina maupun turut serta melakukan zina. Pasal 27 BW adalah mengenai
asas monogami, di mana dalam waktu yang bersamaan seorang laki-laki hanya boleh
kawin dengan satu istri, dan seorang perempuan hanya boleh dengan satu suami.
Sampai kini pengertian bersetubuh seperti itu
tetap dipertahankan dalam praktik hukum. Apabila alat penis tidak sampai masuk
ke dalam vagina walaupun telah mengeluarkan air mani, atau masuk tetapi tidak
sampai keluar sperma, menurut pengertian bersetubuh seperti itu, maka belumlah
terjadi persetubuhan. Namun, telah terjadi percobaan persetubuhan, dan menurut
ketentuan Pasal 53 KUHP telah dapat dipidana karena telah masuk percobaan
berzina, karena belum terpenuhinya syarat seperti tersebut di atas.
Pengertian zina menurut Pasal 284 KUHP yang
disyaratkan harus laki-laki atau perempuan yang sedang terikat perkawin
tersebut di atas, berlatar belakang pada pemikiran orang-orang Belanda bahwa
zina itu sebagai pengingkaran perkawinan, yang berbeda menurut hukum adat yang
berlatar belakang pada penodaan nilai-nilai kesucian daripada persetubuhan.
Menurut
hukum adat di dalam persetubuhan itu terkandung nilai-nilai kesucian.
Oleh karena itu, untuk melakukannya diperlukan syarat. yaitu perkawinan.
Apabila dilakukan di luar perkawinan, dia berdosa dan telah melanggar nilai
kesucian itu, dia telah berzina, oleh sebab itu si pembuatnya harus dihukum.
Ucap Supriyanto alias Pria Sakti/ ilyas Direktur Eksekutif Media Jejak Kasus/
Pimpinan Pusat NGO HDIS. Mojokerto Jawa timur, kontak. 082227859999 /
082141523999. Email: direskrimumjejakkasus@yahoo.com