Sunday, October 4, 2015

Zina Sebagai Delik Dalam KUHP



Redaksi Harian Jejak Kasus, www.jejakkasus.com - Dalam upaya penyikapan hukum pidana Zina yang di larangan atau perintah dan ada sanksi atas pelanggaran norma-norma itu berupa ancaman pidana.
Kejahatan perlu mendapat kajian serius mengingat kerugian yang ditimbulkannya. Kerugian tersebut dapat terjadi pada negara, masyarakat maupun individu sehingga perlu diatasi. Oleh sebab itu, negara memberikan reaksi berupa larangan terhadap perbuatan itu serta sanksi bagi orang yang melanggarnya.
Di samping itu dalam kenyataan sosial, reaksi sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan tidak hanya diberikan oleh negara, masyarakat dan individu yang merasa dirugikan rasa keadilannya akan memberikan reaksi pula. Aturan pidana yang kurang layak sering menjadi objek ketidakpuasan masyarakat yang akhirnya menumbuhkan reaksi sosial. Hal ini semakin jelas apabila diperhatikan hasil penelitian yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional mengenai “Pengaruh Agama Terhadap Hukum Pidana”, baik masyarakat Bali, Aceh ataupun Menado memandang bahwa KUHP sekarang belum memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Kondisi di atas sangat dimungkinkan terjadi karena pengertian kejahatan menurut hukum pidana berbeda dengan pengertian kejahatan menurut masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut terjadi ketidakpuasan dari sebagian masyarakat mengenai perilaku-perilaku penyimpangan terutama dalam lingkup kesusilaan. Hal ini disebabkan karena perilaku-perilaku yang menyimpang dari norma-norma masyarakat belum mendapat tempat semestinya dalam hukum pidana. Misalnya perbuatan zina yang menurut pengertian masyarakat berbeda dengan pengertian dalam Hukum Pidana Indonesia (KUHP). Masyarakat menganggap bahwa zina adalah perbuatan yang patut mendapatkan sanksi pidana, adat dan sosial serta siapa saja boleh melaporkan adanya kejahatan zina tersebut, sementara KUHP sekarang cenderung sanksi yang diberikan masih ringan dan yang melapor terbatas hanya suami/istri pelaku zina.

Menurut Sudarto yang memberikan pijakan awal bahwa apabila hukum pidana itu digunakan untuk mengatasi permasalahan sosial tersebut, maka harus dipertimbangkan secara matang karena hukum pidana mempunyai fungsi subsidier. Artinya baru dipergunakan apabila upaya-upaya lain diperkirakan kurang memberikan hasil yang memuaskan. Jika hukum pidana tetap dilibatkan untuk mengatasi permasalahan sosial tersebut, maka hendaknya dilihat dalam keseluruhan politik kriminal.

Para penegak hukum maupun para ahli hukum banyak yang menyetujui delik perzinaan tetap diatur sebagai salah satu delik baik dalam hukum pidana sekarang maupun untuk hukum pidana masa yang akan datang, walaupun pengertian perzinaan menurut aturan hukum pidana sekarang tidak seluas perzinaan menurut pandangan masyarakat, dengan mendasarkan pada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengakui keberadaan hukum tidak tertulis serta pernyataan hasil seminar atau simposium berikut ini :
a.       Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, yang berbunyi sebagai berikut :
Perbuatan yang melanggar hukum yang hidup harus dianggap sebagai perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum… Bahwa bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim itu melampaui hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka…terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi sepuluh tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas.”

b.      Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 5 ayat (2), berbunyi :
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak/kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

Pasal 23 ayat (1), berbunyi :
“Segala putusan pengadilan selain harus memuat alas an-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari aturan yang bersangkutan atau bersumber dari hukum yang tidak tertulis.”

Pasal 28 ayat (1) berbunyi :
“Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
c.       Resolusi Bidang Hukum Pidana Seminar Hukum Nasional ke-1 Tahun 1963.
Resolusi Butir IV :
“Yang dipandang sebagai perbuatan-perbuatan jahat tadi adalah perbuatan-perbuatan yang dirumuskan unsure-unsurnya dalam KUHP ini maupun dalam perundang-undangan lain. Hal ini tidak menutup pintu bagi larangan perbuatan-perbuatan menurut hukum adat yang hidup dan tidak menghambat pembentukan masyarakat yang dicita-citakan tadi, dengan sanksi adat yang masih sesuai dengan martabat bangsa.”

Resolusi Butir VIII:
“Unsur-unsur Hukum Agama dan Hukum Adat dijalinkan dalam KUHP.”

d.      Kesimpulan Komisi II Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana Tahun 1975.
“Tentang tanggapan terhadap perbuatan pidana dalam KUHP dan perbuatan tercela lainnya yang mempunyai norma yang saling menunjang antara norma hukum dan norma agama/adat, antara lain :
1)      Perzinaan;
2)      Pelacuran; dan lain-lain.
Sidang mendapatkan pandangan-pandangan/pendapat-pendapat yang titik beratnya ditujukan kepada :
1)      Perzinaan dalam KUHP diberikan dalam arti yang luas, karena pada waktu sekarang dipandang tidak cocok lagi.
2)      Mengenai perzinaan dengan pemberian sanksi harus mengawini, timbul persoalan apabila salah satu pihak telah dalam ikatan perkawinan dimana perkawinan baru dihalangi oleh perkawinan lama. Demikian juga timbul persoalan anak yang dilahirkan akibat perzinaan memungkinkan anak yang dilahirkan tetap menjadi anak zina sekalipun oleh kedua orangtuannya tetap diikuti dengan perkawinan.

e.       Seminar Hukum Nasional IV Tahun 1979.
Dalam laporan Sub B II mengenai “Sistem Hukum Nasional” dinyatakan antara lain :
1)      Sistem Hukum Nasional harus sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat Indonesia.
2)      Hukum Nasional sejauh mungkin diusahakan dalam bentuk tertulis. Di samping itu hukum yang tidak tertulis tetap merupakan bagian dari hukum nasional”.
Adapun keputusan-keputusan pengadilan yang mengakui perzinaan sebagai salah satu delik dengan mendasarkan pada hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana karena perzinaan, adalah sebagai berikut :
a.       Putusan Mahkamah Agung tanggal 19 November 1977 No. 545 K/Kr/1976.
b.      Putusan Mahkamah Agung No. 666 K/Pid/1984.
c.       Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 22/Pid/S/1988/PT Denpasar yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Klungkung 27 Januari No. 1/Pid./S/1988/PN Klk. Menyangkut delik adat lokika sanggraha. Unsur-unsur yang menonjol adalah persetubuhan yang dilakukan oleh dua orang yang berada di luar perkawinan dengan janji akan dinikahi, atas dasar suka sama suka, namun ternyata pihak pria mengingkarinya. Dasar pemidanaannya adalah Pasal ayat 3 sub b Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 jo Pasal 359 Kitab Adigama.

Perzinaan menurut KUHP

Hukum Pidana di Indonesia pada masa-masa kerajaan Islam diambil dari hukum Islam, seperti halnya bidang-bidang lainnya yang berlaku waktu itu. Akan tetapi, setelah Belanda menjajah Indonesia, maka mulailah secara berangsur-angsur hukum pidana Barat (Belanda) diterapkan di Indonesia. Mula-­mula hukum pidana itu dikodifikasi, yaitu kodifikasi yang sama seperti yang telah berlaku di negeri Belanda dan hanya berlaku bagi golongan Eropa saja (KB 10 Pebruari 1866). Kemudian dikodifikasi pula hukum pidana yang khusus untuk golongan inlanders (bumiputra) dan yang dipersamakan (Ordonantie 6 Mei 1872 No. 85). Jadi, ada dua kodifikasi hukum pidana, satu untuk golongan Eropa dan satu lagi untuk golongan inlanders dan yang dipersamakan dengannya.



KUHP sebagai kitab induk hukum pidana di Indonesia, dalam pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana zina sebagai bagian dari kejahatan terhadap kesusilaan, semuanya masuk pada jenis kejahatan. Kejahatan yang dimaksudkan ini dimuat dalam lima pasal, yakni: pasal 284 (perzinaan), pasal 285 (perkosaan bersetubuh), pasal 286 (bersetubuh dengan perempuan bukan istrinya yang dalam keadaan pingsan). 287 (bersetubuh dengan perempuan yang belum berumur lima belas tahun yang bukan istrinya), dan Pasal. 288 (bersetubuh dalam perkawinan dengan perempuan yang belum waktunya dikawin dan menimbulkan luka atau kematian. Kejahatan terhadap kesusilaan di bidang persetubuhan ini, selain perzinaan (284) hanya dapat dilakukan oleh si pembuai (laki-laki). Dibentuknya kejahatan di bidang ini, ditujukan untuk melindungi kepentingan hukum kaum perempuan di bidang kesusilaan dalam hal persetubuhan.

Perbuatan yang mempunyai makna sama dengan perzinaan, KUHP digolongkan kejahatan terhadap kesusilaan diatur dalam Pasal 284-303 KUHP. Salah satu kejahatan kesusilaan tersebut dikenal dengan perzinaan/mukah (overspel). Yang diatur dalam Pasal 284 KUHP, dapat dirumuskan sebagai berikut :

(1)   Diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan :

          1.      a.      seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal
                            diketahui bahwa Pasal 27 KUH Perdata[1] (asas monogami) berlaku baginya;
                    b.    seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui
                            bahwa Pasal 27 KUH Perdata (asas monogami) berlaku baginya.
          2.       a.    seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya
                            bahwa yang turut bersalah telah kawin;
                    b.     seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, 
                            padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27
                            KUH Perdata (asas monogami) berlaku baginya.

(2)   Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 KUHPerdata, dalam tenggang waktu 3 bulan diikuti dengan permintaan bercerai, atau pisah meja dan ranjang karena alasan itu juga.

(3)   Terhadap pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72, 73 dan 75 KUHP.[2]

(4)   Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

(5)   Jika bagi suami/istri berlaku Pasal 27 KUH Perdata, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Mengenai kejahatan zina yang dirumuskan pada ayat (1), terdiri dari empat macam larangan, yakni:
  1. seorang laki-laki yang telah kawin melakukan zina, padahal Pasal 27 BW (asas monogami) berlaku baginya;
  2. seorang perempuan yang telah kawin melakukan zina, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW (asas monogami) berlaku baginya;
  3. seorang laki-laki turut berzina dengan seorang perempuan yang diketahuinya telah kawin;
  4. seorang perempuan yang turut berzina dengan seorang laki-laki yang diketahuinya bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya. Jadi seorang laki­-laki atau perempuan dikatakan melakukan kejahatan zina, apabila memenuhi tiga syarat esensial, yaitu: 
  • melakukan persetubuhan dengan perempuan atau laki-laki bukan suami atau bukan istrinya;
  • bagi dirinya berlaku Pasal 27 BW;
  • dirinya sedang berada dalam perkawinan.

Apabila laki-laki atau perempuan yang melakukan zina itu tidak berlaku Pasal 27 BW sedangkan perempuan atau laki-laki yang menjadi kawannya melakukan zina itu tunduk pada Pasal 27 BW dan diketahuinya bahwa laki-laki atau perempuan yang berzina itu tunduk pada BW, kualitasnya bukanlah melakukan kejahatan zina, akan tetapi telah turut serta melakukan zina yang dibebani tanggung jawab yang sama dengan si pembuat zina itu sendiri. Turut serta melakukan zina ini, dilihat dari Pasal 55 ayat (1) KUHP adalah sebagai pembuat peserta (mede pleger).


Jadi untuk berkualitas turut serta dalam berzina, diperlukan empat syarat, yaitu:

  1. melakukan persetubuhan dengan perempuan atau laki-laki bukan suaminya atau bukan   istrinya. Orang ini tidak harus telah menikah; 
  2. dirinya tidak tunduk pada Pasal 27 BW;
  3. temannya yang melakukan persetubuhan itu tunduk pada Pasal 27 BW 4. diketahuinya (unsur kesalahan: kesengajaan) bahwa:
a.     temannya melakukan persetubuhan itu telah bersuami atau beristri,
b.    yang Pasal 27 BW berlaku bagi temannya bersetubuh itu.
Sementara itu, apabila baik laki-lakinya maupun perempuannya tidak tunduk pada Pasal 27 BW kedua-duanya, baik laki-lakinya maupun perempuannya tidaklah melakukan kejahatan zina, dengan demikian juga tidak ada yang berkualitas sebagai pembuat pesertanya. Begitu juga apabila baik laki-lakinya maupun perempuannya tidak sedang terikat perkawinan, artinya tidak sedang beristri atau tidak sedang bersuami walaupun dirinya tunduk pada Pasal 27 BW maka kedua-duanya laki-laki atau perempuannya yang bersetubuh itu tidak melakukan zina maupun turut serta melakukan zina. Pasal 27 BW adalah mengenai asas monogami, di mana dalam waktu yang bersamaan seorang laki-laki hanya boleh kawin dengan satu istri, dan seorang perempuan hanya boleh dengan satu suami.

Sampai kini pengertian bersetubuh seperti itu tetap dipertahankan dalam praktik hukum. Apabila alat penis tidak sampai masuk ke dalam vagina walaupun telah mengeluarkan air mani, atau masuk tetapi tidak sampai keluar sperma, menurut pengertian bersetubuh seperti itu, maka belumlah terjadi persetubuhan. Namun, telah terjadi percobaan persetubuhan, dan menurut ketentuan Pasal 53 KUHP telah dapat dipidana karena telah masuk percobaan berzina, karena belum terpenuhinya syarat seperti tersebut di atas.

Pengertian zina menurut Pasal 284 KUHP yang disyaratkan harus laki­-laki atau perempuan yang sedang terikat perkawin tersebut di atas, berlatar belakang pada pemikiran orang-orang Belanda bahwa zina itu sebagai pengingkaran perkawinan, yang berbeda menurut hukum adat yang berlatar belakang pada penodaan nilai-nilai kesucian daripada persetubuhan.

Menurut hukum  adat di dalam persetubuhan itu terkandung nilai-nilai kesucian. Oleh karena itu, untuk melakukannya diperlukan syarat. yaitu perkawinan. Apabila dilakukan di luar perkawinan, dia berdosa dan telah melanggar nilai kesucian itu, dia telah berzina, oleh sebab itu si pembuatnya harus dihukum. Ucap Supriyanto alias Pria Sakti/ ilyas Direktur Eksekutif Media Jejak Kasus/ Pimpinan Pusat NGO HDIS. Mojokerto Jawa timur, kontak. 082227859999 / 082141523999. Email: direskrimumjejakkasus@yahoo.com

0 comments: