Sunday, November 2, 2014

Proyek Pelebaran Jalan Mojokerto Trawas Nampak Asal asalan Di Monitoring Jejak Kasus



Mojokerto, .jejakkasus.com- Proyek pelebaran jalan desa Urung-Urung 1kmjurusan  arah ke kecamatan Trawas kabupaten Mojokerto di nilai Jejak Kasus terkesan asal-asalan, pasalnya baru saja berjalan pengadaan proyek pelebaran jalan, sudah terlihat rusak, Jelas Pria Sakti Direktur Eksekutif NGO HDIS.
Nampak jelas, kondisi banyak yang  rusak jalan seperti  gambar gallery foto yang di kantongi oleh tim Jejak Kasus, patut di duga ada unsyur manipulasi data bahan bahan untuk pengerjaan Proyek pelebaran jalan raya Trawas, dan itu sebenarnya tanggung jawab pimpinan daerah yakni bupati Mojokerto.
Lanjut Jejak Kasus memonitoring dugaan dugaan kasus proyek pelebaran jalan khususnya di kabupaten Mojokerto, Lihat jalan tersebut Nampak berlobang, baik kedalaman galian dan pengecoran terlihat dipilah pilah/alias tidak rata, sepanjang jalan menuju Trawas. Kwalitas aspalpun juga kurang dan pengerjaannya kasar, ketebalannya tidak sesuai dengan rencana anggaran biaya RAB, juga Volumenya.
Sejauh ini bupati Mojokerto harusnya turun lapangan untuk melihat kebenarannya, karena para pekerja pelaksanaan proyek jalan sukar di temui, berita di turunkan. Bersambung 2.

PT Mustika Zidane Karya yang bertanggung jawab pelaksanaan proyek pembangunan jalan dan jembatan nama proyek peningkatan jalan Lebaksono Slepi THP II dengan Volume 7X 7.107 M dengan biaya sebesar Rp. 15.356909.000,00 waktu pengerjaan proyek 180 hari kalender di mulai 07 April 2014 sampai 03 Oktober 2014 Ada dugaan tindakan melanggar hukum UU Kontruksi! Di karenakan terkesan asal asalan, dan jalan banyak yang rusak.


Pria Sakti Direktur Eksekutif NGO HDIS PUSAT, menerangkan: Pengerjaan Proyek pelebaran jalan Trawas tersebut harusnya di Audit, mewakili masyarakat’ kita harus memastikan bahwa uang APBD dan APBN untuk proyek jalan oleh pemborong atau jasa jasa kontruksi supaya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Bagaimana jika kemudian dalam suatu pekerjaan konstruksi ditemukan sesuatu penyimpangan? Tentu saja pihak-pihak yang terlibat di dalamnya harus mempertanggung jawabkan segala bentuk penyimpangan itu. Namun yang disesalkan, seringkali hal ini digunakan oleh aparat penegak hukum untuk mempersangkakan para pihak tersebut dengan hukum pidana tindak pidana korupsi (tipikor). Sebenarnya tidak semua penyelesaian harus disolusikan dengan hukum pidana tipikor. Pasal 2 ayat 1 UU Tindak Pidana Korupsi sendiri berbunyi demikian

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 
Dalam pekerjaan jasa konstruksi pemerintah, dalam kontrak biasanya ada dua pihak utama, yaitu pemerintah itu sendiri dan penyedia jasa (kontraktor). Pemerintah adalah pengendali kegiatan, sedangkan kontraktor adalah pelaksana kegiatan. Ketika pekerjaan konstruksi selesai dilaksanakan dan diserahterimakan, akan ada audit yang dilakukan oleh pemeriksa baik internal maupun eksternal. Ketika dalam audit itu terdapat temuan atau penyimpangan, hal pertama yang dilakukan adalah melaporkannya kepada pihak-pihak yang ada dalam kontrak tadi serta bagaimana penyelesainnya. Penyelesaian yang paling umum dilakukan adalah penggantian kerugian negara secara materiil. Permasalahan ini seharusnya selesai sampai di sini, karena (potensi) kerugian negara telah diganti dan telah diselesaikan.

Kenyataannya dalam prakteknya kemudian, aparat penegak hukum masuk menelusuri kasus ini dengan kacamata pidana tipikor. Sah-sah saja sebenarnya apa yang dilakukan oleh penegak hukum tersebut, tapi seyogyanya tim penyelidik atau penyidik sudah menemukan adanya dugaan yang kuat adanya perbuatan melawan hukum ini. Kalau memang ternyata kerugian negara itu ialah dikarenakan karena kelalaian dan ketidaksengajaan karena faktor-faktor kompleksnya pekerjaan konstruksi yang dilakukan, sebaiknya cukup diselesaikan secara perdata. 

Dalil "secara melawan hukum" ini harus sangat diperhatikan oleh penegak hukum. Tidak semua kerugian negara dikarenakan perbuatan melawan hukum. Jasa konstruksi mengenal UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. UU ini seharusnya juga sama dihormatinya dengan UU Tipikor. Pada pasal 43 ayat 1, 2 , dan 3 dapat ditemukan sanksi pidana ada di dalam UU Jasa Konstuksi.
(1) Barang siapa yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.  
(2) Barang siapa yang melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan keteknikan yang telah ditetapkan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima per seratus) dari nilai kontrak.. 
 (3) Barang siapa yang melakukan pengawasan Pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang lain yang melaksanakan pekerjaan konstruksi melakukan penyimpangan terhadap ketentuan keteknikan dan menyebabkan timbulnya kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.
Merupakan hal yang berbeda jika ternyata di kemudian hari ada kegagalan bangunan. Dalam Pasal 11 poin 6 UU Jasa Konstruksi dijelaskan mengenai kegagalan bangunan.
Kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan, yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa, menjadi tidak berfungsi baik sebagian atau secara keseluruhan dar,/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaotannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna jasa; 

Jadi dalam kegagalan bangunan harus ada unsur-unsur sebagai berikut,
1. Tidak berfungsi baik sebagian atau keseluruhan, atau
2. Tidak sesuai ketentuan yang tercantum di dalam kontrak, atau
3. Pemanfaatannya menyimpang
dan semua itu haruslah akibat adanya "kesalahan". Misalnya dalam kasus jembatan ambruk. Pun harus ada unsur "kesengajaan" yang bisa dibuktikan dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat. Kasus tipikor merupakan sesuatu yang serius dan semua pihak harus sangat berhati-hati dalam menerapkan pasal tipikor, terutama dalam pekerjaan konstruksi. Pekerjaan konstruksi melibatkan begitu banyak pihak. Pada tahap pekerjaan begitu banyak pekerja yang ada, baik yang terampil maupun tidak terampil. Tidak semuanya memahami pekerjaan konstruksi yang sesuai dengan ketentuan yang ada. Kesalahan atau kelalaian yang dilakukan seharusnya dipahami betul sebagai ketidaksengajaan ada dalam kemungkinan pertama. Menjadi hal yang berbeda bila kemudian ditemukan kegagalan bangunan yang menyebabkan bangunan tersebut menjadi tidak berfungsi. Dalam hal ini pun ada pasal dalam UU Jasa Konstruksi dan tidak serta merta langsung mengaitkan dengan pasal UU Tipikor.

Penyelesaian jika ada temuan atau penyimpangan dalam pekerjaan konstruksi sebaiknya dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Hasil audit pemeriksa yang sah, baik internal maupun eksternal, jika ada temuan harus langsung diberitahukan kepada pihak-pihak dalam kontrak yang langsung menyelesaikannya baik dengan mengganti kerugian materiil ataupun potensi kerugiannya kepada negara, selama tidak terjadi kegagalan bangunan.
2. Aparat penegak hukum baru terlibat jika terjadi kegagalan bangunan (sesuai UU Jasa Konstruksi), dengan memastikan apakah kegagalan bangunan tersebut apakah merupakan kesalahan yang disengaja atau tidak. Jika tidak ditemukan bukti bahwa kegagalan itu disengaja, maka penyelesaiannya seyogyanya dalam domain hukum perdata.
3. Bila ditemukan unsur "melawan hukum" dalam proses terjadinya penyimpangan pekerjaan konstruksi, barulah aparat penegak hukum menggunakan pasal pidana yang ada di dalam UU Jasa Konstruksi.
4. UU Tipikor barulah dikenakan jika ternyata ada dugaan kuat bahwa pihak-pihak dari lingkungan pemerintah terlibat dengan sengaja melakukan hal-hal melawan hukum yang bisa memperkaya diri sendiri atau orang lain.

Gambaran berikut ini bisa memberikan sedikit pencerahan dalam penerapan jenis hukum yang bisa dikenakan pada pihak-pihak dalam jasa konstruksi.
1. Sebuah pekerjaan pembangunan jembatan baru, ternyata setelah dilakukan audit oleh BPK ditemukan kekurangan volume pekerjaan. Jembatan itu sendiri masih bisa berfungsi dan setelah diuji, dinyatakan aman dan tidak membahayakan. Penyelesaiannya cukup dengan mengembalikan kerugian negara yang ada.
2. Ternyata setelah 2 tahun, salah satu bagian dari jembatan itu mengalami penurunan akibat kesalahan pada proses pekerjaan. Setelah diselidiki, kesalahan ini bukan merupakan kesengajaan dan karena kelalaian akibat keliru dalam menghitung kekuatan beton. Penyelesainnya seyogyanya lewat jalur perdata.
3. Penyelidikan yang dilakukan pada bagian yang rusak, ternyata ada dugaan kuat bahwa pihak kontraktor sengaja mengurangi kualitas beton dan besi atau baja demi keuntungan sendiri. Maka aparat dapat menggunakan UU Jasa Konstruksi Pasal 43 ayat (1) dan (2), serta ayat (3).
4. Bila ternyata ditemukan dugaan kuat bahwa ada unsur pemerintah yang terlibat suap dalam proses pekerjaan baik selama pekerjaan maupun setelah pekerjaan, dan bahwa perbuatan itu dilakukannya dengan maksud memperkaya diri sendiri (maupun si kontraktor), barulah dapat disangkakan UU Tipikor.

Dengan demikian ada beberapa hal yang harus ada dalam penyimpangan pekerjaan konstruksi untuk sampai pada UU Tipikor:
1. Ada unsur kerugian negara
2. Ada kegagalan bangunan
3. Ada dugaan kuat kesengajaan dari penyedia jasa
4. Ada dugaan kuat perbuatan melawan hukum dari unsur pemerintah (misalnya suap, penyalahgunaan wewenang, pemerasan, dsb)

Dengan mengetahui bahwa tidak semua kesalahan dalam pekerjaan konstruksi akan dibawa ke ranah pidana, selama hal tersebut bukan merupakan kesengajaan atau perbuatan melawan hukum, maka para pelaku konstruksi bisa lebih tenang dalam bekerja demi pembangunan negeri ini. (ida sakti)


Sejarah Kabupaten Banyuwangi Oleh Gus Memed



www.jejakkasus.info- Kabupaten Banyuwangi adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibukotanya adalah Banyuwangi. Kabupaten ini terletak di ujung paling timur pulau Jawa, berbatasan dengan Kabupaten Situbondo di utara, Selat Bali di timur, Samudra Hindia di selatan serta Kabupaten Jember dan Kabupaten Bondowoso di barat. Pelabuhan Ketapang menghubungkan pulau Jawa dengan Pelabuhan Gilimanuk di Bali.
Banyuwangi adalah kabupaten terluas di Jawa Timur bahkan di pulau Jawa. Luasnya 5.782,50 km^2.[2] Wilayahnya cukup beragam, dari dataran rendah hingga pegunungan. Kawasan perbatasan dengan Kabupaten Bondowoso, terdapat rangkaian Dataran Tinggi Ijen dengan puncaknya Gunung Raung (3.282 m) dan Gunung Merapi (2.800 m) terdapat Kawah Ijen, keduanya adalah gunung api aktif.[butuh rujukan]
Bagian selatan terdapat perkebunan, peninggalan sejak zaman Hindia Belanda. Di perbatasan dengan Kabupaten Jember bagian selatan, merupakan kawasan konservasi yang kini dilindungi dalam sebuah cagar alam, yakni Taman Nasional Meru Betiri. Pantai Sukamade merupakan kawasan pengembangan penyu. Di Semenanjung Blambangan juga terdapat cagar alam, yaitu Taman Nasional Alas Purwo.
Pantai timur Banyuwangi (Selat Bali) merupakan salah satu penghasil ikan terbesar di Jawa Timur. Di Muncar terdapat pelabuhan perikanan.
Kabupaten Banyuwangi terdiri atas 24 kecamatan yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi terdiri dari:
1.        Pesanggaran
2.        Siliragung
3.        Bangorejo
4.        Purwoharjo
5.        Tegaldlimo
6.        Muncar
7.        Cluring
8.        Gambiran
9.        Tegalsari
10.     Glenmore
11.     Kalibaru
12.     Genteng
13.     Srono
14.     Rogojampi
15.     Kabat
16.     Singojuruh
17.     Sempu
18.     Songgon
19.     Glagah
20.     Licin
21.     Banyuwangi
22.     Giri
23.     Kalipuro
24.     Wongsorejo
Perkotaan Banyuwangi meliputi Kecamatan:
  • Banyuwangi
  • Giri
  • Glagah
  • Kalipuro
  • Kabat
·         Ibukota Kabupaten Banyuwangi berjarak 239 km sebelah timur Surabaya. Banyuwangi merupakan ujung paling timur jalur pantura serta titik paling timur jalur kereta api pulau Jawa yaitu Stasiun Banyuwangi Baru.[3]
·         Pelabuhan Ketapang terletak di kota Banyuwangi bagian utara, menghubungkan Jawa dan Bali dengan kapal ferry, LCM, roro dan tongkang.[butuh rujukan]
·         Dari Surabaya, Kabupaten Banyuwangi dapat dicapai dari dua jalur jalan darat, jalur utara dan jalur selatan. Jalur utara merupakan bagian dari jalur pantura yang membentang dari Anyer hingga pelabuhan Panarukan dan melewati kabupaten Situbondo. Sedangkan jalur selatan merupakan pecahan dari jalur pantura dari Kabupaten Probolinggo melewati Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Jember di kedua jalur tersebut tersedia bus eksekutif (pattas) maupun ekonomi.
·         Terdapat pula moda transportasi darat lainnya, yaitu jalur kereta api Surabaya - Pasuruan - Probolinggo - Jember dan berakhir di Banyuwangi. Stasiun Banyuwangi Baru terletak di Kota Banyuwangi tidak jauh dari Pelabuhan Penyeberangan Ketapang. Stasiun Kereta Api yang cukup besar di Banyuwangi adalah Stasiun Banyuwangi Baru, Karang Asem (Kota Banyuwangi), Rogojampi, Stasiun Kalisetail (Kecamatan Sempu), dan Kalibaru. Selain itu ada juga stasiun yang lebih kecil seperti Singojuruh, Temuguruh, Glenmore dan Halte Krikilan.
·         Untuk transportasi wilayah perkotaan terdapat moda angkutan mikrolet, taksi Using Transport serta colt yang melayani transportasi antar kecamatan dan minibus yang melayani trayek Banyuwangi dengan kota-kota kabupaten di sekitarnya.
·         Bandar Udara Blimbingsari di kecamatan Rogojampi dalam pembangunannya sempat tersendat akibat kasus pembebasan lahan, dan memakan korban 2 bupati yang menjabat dalam masa pembangunannya yaitu Bupati Samsul Hadi dan Bupati Ratna Ani Lestari. Dan pada tanggal 28 Desember 2010, Bandar Udara Blimbingsari telah dibuka untuk penerbangan komersial Banyuwangi (DQJ) - Denpasar (DPS) - Banyuwangi (DQJ) dan Banyuwangi (DQJ) - Surabaya (SUB) - Banyuwangi (DQJ), per tanggal 24 Agustus 2011 Maskapai Merpati Airlines membuka penerbangan dari Banyuwangi dengan tujuan Surabaya, Semarang, dan Bandung
Penduduk Banyuwangi cukup beragam. Mayoritas adalah suku Osing, namun terdapat Suku Madura (kecamatan Muncar, Wongsorejo, Kalipuro, Glenmore dan Kalibaru) dan suku Jawa yang cukup signifikan, serta terdapat minoritas suku Bali, suku Mandar, dan suku Bugis. Suku Bali banyak mendiami desa - desa di kecamatan Rogojampi, bahkan di desa Patoman, Kecamatan Rogojampi seperti miniatur desa Bali di pulau Jawa. Suku Osing merupakan penduduk asli kabupaten Banyuwangi dan bisa dianggap sebagai sebuah sub-suku dari suku Jawa. Mereka menggunakan bahasa Osing, yang dikenal sebagai salah satu ragam tertua bahasa Jawa. Suku Osing Banyak mendiami di Kecamatan Rogojampi, Songgon, Kabat, Glagah, Giri, Kalipuro, Kota serta sebagian kecil di kecamatan lain.
Sejarah Banyuwangi tidak lepas dari sejarah Kerajaan Blambangan. Pada pertengahan abad ke-17, Banyuwangi merupakan bagian dari Kerajaan Hindu Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Tawang Alun. Pada masa ini secara administratif VOC menganggap Blambangan sebagai wilayah kekuasannya, atas dasar penyerahan kekuasaan jawa bagian timur (termasuk blambangan) oleh Pakubuwono II kepada VOC. Padahal Mataram tidak pernah bisa menguasai daerah Blambangan yang saat itu merupakan kerajaan hindu terakhir di pulau Jawa. Namun VOC tidak pernah benar-benar menancapkan kekuasaanya sampai pada akhir abad ke-17, ketika pemerintah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan. Daerah yang sekarang dikenal sebagai "kompleks Inggrisan" adalah bekas tempat kantor dagang Inggris.[butuh rujukan]
VOC segera bergerak untuk mengamankan kekuasaanya atas Blambangan pada akhir abad ke-18. Hal ini menyulut perang besar selama lima tahun (1767-1772). Dalam peperangan itu terdapat satu pertempuran dahsyat yang disebut Puputan Bayu sebagai merupakan usaha terakhir Kerajaan Blambangan untuk melepaskan diri dari belenggu VOC. Pertempuran Puputan Bayu terjadi pada tanggal 18 Desember 1771 yang akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Banyuwangi. Sayangnya, perang ini tidak dikenal luas dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan kompeni Belanda. Namun pada akhirnya VOC-lah yang memperoleh kemenangan dengan diangkatnya R. Wiroguno I (Mas Alit) sebagai bupati Banyuwangi pertama dan tanda runtuhnya kerajaan Blambangan. Tetapi perlawanan sporadis rakyat Blambangan masih terjadi meskipun VOC sudah menguasai Blambangan. Itu bisa terlihat dengan tidak adanya pabrik gula yang dibangun oleh VOC saat itu, berbeda dengan kabupaten lainnya di Jawa Timur.
Tokoh sejarah fiksi yang terkenal adalah Putri Sri Tanjung yang di bunuh oleh suaminya di pinggir sungai karena suaminya ragu akan janin dalam rahimnya bukan merupakan anaknya tetapi hasil perselingkuhan ketika dia ditinggal menuju medan perang. Dengan sumpah janjinya kepada sang suami sang putri berkata: "Jika darah yang mengalir di sungai ini amis memang janin ini bukan anakmu tapi jika berbau harum (wangi) maka janin ini adalah anakmu". Maka seketika itu darah yang mengalir ke dalam sungai tersebut berbau wangi, maka menyesalah sang suami yang dikenal sebagai Raden Banterang ini dan menamai daerah itu sebagai Banyuwangi.
Tokoh sejarah lain ialah Minak Djinggo, seorang Adipati dari Blambangan yang memberontak terhadap kerajaan Majapahit dan dapat ditumpas oleh utusan Majapahit, yaitu Damarwulan. Namun sesungguhnya nama Minak Djinggo bukanlah nama asli dari adipati Blambangan. Nama tersebut diberikan oleh sebagian kalangan istana Majapahit sebagai wujud olok-olok kepada Brhe Wirabumi yang memang putra prabu hayam wuruk dari selir. Bagi masyarakat Blambangan, cerita Damarwulan tidak berdasar. Cerita ini hanya bentuk propaganda Mataram yang tidak pernah berhasil menguasai wilayah Blambangan yang saat itu disokong oleh kerajaan hindu Mengwi di Bali. Gus Memed jejakkasus.com.
Official Page: www.jejakkasus.info .
Follow : @humasjejakkasus
Mobile : 082141523999
Email : beritajejakkasus@yahoo.om
Perusahaan : Media Jejak Kasus Group www.jejakkasus.info

SITUS berita Jejak Kasus, www.jejakkasus.info dikelola PT PRIA SAKTI PERKASA KepMenHum & HAM No. 13286.40.10.2014. Divisi Koran Daerah Radar Bangsa Group (Group of Regional Newspaper). Berkantor pusat diMojokerto, situs berita jejak kasus menyajikan berita berita nasional, penyimpangan hukum, APBD/APBN/Pemalsuan Merek dan dokumentasi Negara serta berbagai macam berita lainnya.

Berita Harian Jejak Kasus, www.jejakkasus.info juga mengelola forum diskusi, melalui komunitas online www.jejakkasus.info . Facebook : infojejakkasus@facebook.com http://www.facebook.com/Infojejakakkasus Twitter : @buseristana @humasjejakkasus
Portal berita www.jejakkasus.info Menyajikan 4 Koran, 1 Radar Bangsa (Koran), 2. Jejak Kasus (Tabloid), 3. Polhukum & Kriminal (Tabloid), 4 Buser Istana (Tabloid), dan NGO HDIS.
Harapan Media Harian Jejak Kasus www.jejakkasus.info- Seluruh lapisan masyarakat dari kalangan bawa hingga atas, dapat ikut berpartisipasi, berbagi informasi, tentang info penyimpangan APBD/APBN/Penyalahgunaan wewenang jabatan/pemalsuan dokumentasi negara serta lainnya, turut serta menyampaikan gagasan atau angan angan, ide-ide yang bersifat membangun, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Beralamatkan: Jalan raya Kemantren 82, Terusan, Gedeg, Mojokerto, kode pos. 61351 Jawa timur. Kontak person: 082141523999, terima kasih sudah berpartisipasi, berbagi dengan kami. untuk mengetahui berita hukum dan kriminal jejak kasus, Klik di sini,www.jejakkasus.info